Sabtu, 20 Juni 2015

1

Aku benar-benar sedang ingin menulis. tapi kali ini aku tak tahu apa yang akan aku tulis. sampai aku membaca postingan blog arman dhani. ya arman dhani, blogger sekaligus selebtwit yang punya hobi twitwar, yang tempo hari aku ceritakan kepadamu.
ntah sudah berapa lama aku menjadi pengikutnya, aku merasa bebarapa postingannya mewakili apa yang aku rasakan, seperti postingan dia yang terbaru yang coba akan aku tuliskan buat kamu di sini, tentu dengan beberapa editan seperlunya.
(untuk mas armandhani, aku minta izin untuk menuliskan kembali postingan mu. terima kasih sebelumnya. salam hangat dari pengikut mu).

Dear Kamu
Awalnya banyak yang hendak aku tulis. Lalu tiba-tiba ia bubar, berantakan begitu saja, ketika aku melihat namamu tertulis di ujung surat ini. Lantas aku menghapusnya, berharap ia tidak mengganggu konsentrasiku menulis surat ini untukmu. Aku memang sedemikian lemah dan konyolnya. Tapi bolehkan kita menjadi lemah, menjadi seseorang yang tak berdaya di hadapan yang kita cintai.
Perasaanku padamu tulus. Atau setidaknya aku kira ia tulus, jika tidak tulus mengapa ia terasa begitu nyata? Begitu menyenangkan saat kita bicara, saat kita berbagi pesan, atau saat kita bersama. Mungkin ini naif, aku selalu melankolis dan selalu platonis. Aku percaya pada hal hal yang sentimentil. Aku berusaha percaya pada harapan, meski ia berkali-kali mengecewakan. Aku tentu sakit hati, tapi rasa sakit itu yang membuatku hidup.
Aku hanya bisa menulis, seperti yang aku bilang, hanya dengan menulis aku bisa menunjukan perasaanku, tentu ia bisa jadi gombal, bisa jadi murahan, bisa jadi suatu hal yang tidak penting dan boleh kamu lupakan besok. Tapi kali ini aku mau jujur, aku ingin belajar untuk percaya bahwa, barangkali dalam hitungan waktu hidupku yang tidak seberapa ini, aku masih bisa menunjukan perasaan. 
Aku masih menyukaimu, tapi tentu ini bisa jadi tidak benar, sekedar kata-kata yang tidak harus kamu percayai. Lagipula siapa yang bisa percaya dengan seseorang yang tiap saat menggoda perempuan di media sosial, sering genit dengan banyak perempuan, kerap sok akrab dengan banyak perempuan. Lelaki macamku berhak tidak dipercaya, berhak tak mendapatkan perhatian, dan aku menyadari itu.
Aku tidak tahu apakah kamu sedang bersama orang lain, beberapa hari yang lalu aku melihat seorang lelaki. Ia menitipkan harapan padamu, sepertiku, barangkali ia juga jatuh cinta. Jatuh cinta pada kesederhanaanmu. Pada apa adanya dirimu. Lagipula siapa yang tidak mencintaimu? Senyum kikuk, mata terang dan semangat hidup yang begitu terik…
Barangkali ini menggelikan. Mungkin juga menyebalkan. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku mencintaimu dengan segala kedunguanku dan oleh sebab itu. Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaan-perasaanku. Aku tidak akan menuntutmu untuk mengakui keberadaanku, atau bahkan mungkin tidak perlu mempedulikan perasaanku. Karena kamu tahu? Akhir-akhir ini aku belajar, bahwa cara terbaik untuk hidup adalah merelakan yang tak bisa kita kendalikan.
Aku ingin kamu bahagia, ini klise, rumit dan sederhana sekaligus. Aku mengagumimu, mengagumi kesederhanaanmu, caramu tertawa yang malu-malu, senyum yang dipaksaakan dan betapa kamu tidak menyukai kerumunan. Kamu lebih suka diam, membaca, mendengarkan musik, sambil pelan-pelan terlelap, lantas mengomel karena tidur terlalu lama. Hal-hal yang membuatku ingin menaklukan dunia untukmu.
Aku menyadari, mungkin aku terlalu dhaif, terlalu sombong untuk percaya bahwa hanya saya yang bisa menyukaimu. Mencintaimu dan menyayangimu. Padahal mungkin di luar sana, masih ada orang yang begitu mencintaimu dengan tulus, dengan lebih baik daripada aku. Seseorang yang bisa bersetia, yang mengagumimu dengan total, seseorang yang tak bisa hidup tanpamu, seseorang yang tidak genit dan gemar menggoda perempuan lain.
Maka ketika hari ini aku melihat senyummu lagi, aku menyadari, bahwa aku mungkin terlalu egois untuk memilikimu sendiri. Barangkali aku cemburu, barangkali aku takut kehilangan, takut ditinggalkan dan takut dilupakan. Mungkin ini tidak penting bagimu, mungkin ini tidak pernah penting bagi kamu.
Mungkin Aku bahkan tidak pernah berhak bersama kamu. 
Aku perlu menyadari siapa aku dan aku tahu, kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada aku. Seseorang yang menjadikanmu nomor satu, bukan pilihan yang kesekian. Seseorang yang mengutamakanmu, bukan sekedar pengganti.
Tapi terima kasih, terima kasih telah ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar