Untuk N.
Pernahkah kamu begitu marah sehingga segala kebahagiaan di dunia ini
terasa seperti sebuah cegukan yang menganggu? Rasa marah adalah rupa
lain api. Ia membakar segala yang
hidup. Melumat semangat hingga kau pelan-pelan dipaksa takluk pada
keinginan
untuk menghancurkan. Lantas berharap untuk melakukan tindakan keji,
tindakan jahat, tindakan nista agar setimpal rasa marahmu. Terganti
desir kedengkian yang perlahan kau beri rupa manis.
Ada yang gegas dalam kemarahan. Serupa rencana keji
yang buru-buru hendak dilaksanakan. Tapi rencana itu begitu berantakan,
begitu sembrono, begitu naif, kamu menyadari ini, namun tetap
melaksanakannya karena ada dorongan keras dari ulu hatimu yang
berteriak-teriak. "Ia harus hancur, ia harus musnah, ia selayaknya
roboh," Kebencian yang terlalu, kemuakan yang terlalu dan segala yang
terlalu mengambil alih otakmu untuk satu tujuan. Kehancuran bagi yang
"lain".
N yang baik. Apa kabar? Sudah lama kita tak berkirim berita. Barangkali
benar menua adalah proses melupakan dan pelan-pelan menyisihkan satu
persatu kegiatan hanya untuk hal-hal dasar seperti makan, berak dan
tidur. Wisdom comes with winters kata Oscar Wilde suatu saat.
Seiring berjalan umur kita belajar untuk lebih bijak, lebih pragmatis,
lebih matrealis dan berpikir lebih banyak. Sehingga pada akhirnya kita
melupakan cara untuk menikmati hidup dan mengisinya dengan usaha
bertahan hidup.
Maaf jika aku memulai kabar ini dengan sebuah kemarahan. Aku percaya
manusia adalah mahluk pendendam. Sebuah perasaan yang lahir akibat tak
terpenuhinya harapan. Mereka yang tak bisa menyimpan kerelaan dan
menganggap bahwa segala hal yang ia senangi harus dinaungi rasa
kepemilikan. Juga seperti dalam cinta. Seperti ketika aku jatuh cinta
padamu dan menginginkamu sebagai sebuah benda, bukan lagi rekan manusia
yang sepadan.
N yang baik, apa yang terjadi padaku barangkali tak begitu penting
bagimu. Seperti juga betapa tak pentingnya debu-debu di antara tumpukan
bukumu, atau seperti cucian yang terlantar, atau mungkin barangkali
seperti sebuah potongan cabai pada mie rebus panasmu. Hal-hal remeh yang
membuatmu senewen dan jengah. Tapi aku tetap ingin menyampaikan kabar
ini N. Terserah apakah kau mau peduli atau tidak itu tak penting bagiku.
Malam ini hujan turun terus menerus tanpa henti seolah besok adalah awal
mula musim kemarau. Seperti juga kemarahanku yang mendera dengan cepat.
Kemarahan yang lahir dari hal remeh seperti kebebalan media-media hari
ini pada etika dalam pemberitaan, atau juga bagaimana bencana terjadi
pada saat yang tak pernah tepat, atau juga pernyataan-pernyataan konyol
pemimpin yang membuat dahi berkerut. Terlalu banyak alasan untuk marah
hari ini, sedangkan humor dan tawa telah lama jadi barang picisan yang
dijual murah.
N yang manis, aku marah pada televisi. Marah pada sesuatu yang bahkan
tak bisa berpikir. Kita menonton benda kotak keparat itu lebih sering
dari waktu kita bercumbu dengan kekasih. Lebih sering daripada kita
bermunajat dan bercinta dengan tuhan. Atau yang lebih parah kita lebih
sering diam diri dan bermonolog di depannya daripada diam sendiri dan
berpikir menggunakan otak. Televisi adalah berhala lain yang tuhan pun
kalah berdebat dengannya.
Sementara diam-diam kita menyadari bahwa kotak brengsek itu adalah
satu-satunya kebenaran. Televisi menghasilkan berita yang kita percayai
meski kita tahu itu bohong. Televisi membuat kita berhenti kritis dan
pelan-pelan membuatmu dan otakmu berhenti berfungsi. Iklan, seks,
kekerasan, gosip, komedi picisan dan berita bohong adalah hal-hal yang
membuat kita larut dan beriman pada televisi lebih dari agama apapun di
dunia. Kita adalah budak dari apa yang kita ciptakan sendiri.
Tapi bukan hanya pada televisi aku marah N. Aku marah pada diriku
sendiri yang tak bisa lari dari kenyataan bahwa televisi adalah
satu-satunya penyelamat manusia-manusia lemah. Buruh-buruh pabrik, kuli,
petani miskin, pengemis, juga ibu rumah tangga menyandarkan hidupnya
pada televisi. Pada tiap-tiap sinetron yang kita anggap sampah, mereka
para kuli dan buruh tadi, menitipkan mimpi. Berharap suatu saat ia atau
keturuannya bisa sedikit mencicip rasa kekayaan. Bahwa seseorang bisa
makmur dengan jatuh cinta pada orang kaya, atau dengan tulus doa dan
bekerja keras tuhan akan memberikan kekayaan. Mimpi membuat manusia
hidup.
Tapi kita sama-sama tahu N. Televisi adalah biang dari segala
kehancuran. Mimpi semu dan segala macam taik kucing yang lahir dari
rahim konsumerisme. Tapi apalah itu konsumerisme? Tak penting amat
ketika kau bekerja lebih dari 12 jam sehari, ketika 6 masa kerjamu habis
dihajar wabah, atau lembur malammu tak menghasilkan separuh dari harga
susu anakmu. Kita terlalu sibuk belajar definisi hingga melupakan arti
penting merasakan. Televisi memiliki itu semua N, memiliki apa yang tak
pernah bisa diberikan oleh para pemikir. Rasa nyaman dan memiliki ketika
bersama-sama.
Inilah aku N. Lelaki yang disiksa perasaanya sendiri. Seorang sarjana
yang hilang arah. Berharap pada satu titik sekian tahun ilmunya dibangku
kuliah akan bermanfaat. Berharap suatu saat manusia-manusia hebat yang
dipenjara pekerjaan tadi sadar. Bahwa hidup bukan perkara menonton
televisi. Bahwa otak perlu diisi dan segala mimpi perlu dikejar.
Barangkali hanya ini yang bisa kubagi N. Ditengah hujan, suara kodok,
dan rindu yang berjelaga. Sesak atas amarah adalah sebenar-benarnya
kebodohan yang tak perlu.
-tulisan diambil dari blog pribadi @arman_dhani (kandhani.net) dengan judul dan isi yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar