Jumat, 10 Januari 2014

Hidup adalah pilihan


“ketika sesuatu yang kau senangi diluaran tak lagi membuat mu senang, barangkali itu waktunya kau pulang”

Dalam hidup, setiap orang pasti pernah merasakan bagaimana harus memilih, begitupun saya. Sepanjang 24 tahun hidup saya, barangkali ini adalah salah satu pilihan paling berat, lebih berat ketika saya memilih untuk meninggalkan kuliah saya yang tinggal ujungnya saja.
Yah, saya dipaksa meninggalkan sesuatu yang benar-benar saya cintai, saya dipaksa meninggalkan kebiasaan yang saya dambakan, saya dipaksa untuk meninggalkan sesuatu yang saya tak pernah merasa berkorban sedikitpun didalamnya. Berat, sangat berat bahkan, tapi begitulah hidup, bagian terberat dalam hidup itu sendiri adalah saat dimana kita harus menentukan pilihan, barangkali begitulah kurang lebih makna dari “hidup adalah pilhan”.

Indpndnt, ya begitulah orang-orang menyebutnya. Sekumpulan anak muda yang memiliki kesamaan hobi bermain bola basket, namun kami lebih suka menyebutnya brotherhood karena memang bagi kami, indpndnt adalah “more than basketball” dan “stick together stand as brother” adalah jargonnya. Well, ini adalah rumah bagi saya, tempat dimana kami berbagi segalanya, tempat dimana kami membangun mimpi, menata dan merencanakan segala perihal demi memajukan basket di daerah kami, namun yang paling penting bagi saya, ini adalah tempat dimana saya merasa “pulang”.

tak ada gading yang tak retak” barangkali adalah peribahasa yang tepat untuk situasi ini, begitu banyak gesekan dari luar yang bisa kami bereskan, namun kami (lebih tepatnya saya) tak mampu menyelesaikan gesekan-gesekan dari dalam diri kami sendiri. Ntah salah siapa, barangkali salah mereka para godfather yang “terlalu” mencintai tim, yang ingin membesarkan “anaknya” dengan cara mereka sendiri sehingga menjadikan mereka “kebal” kritik (walaupun terkadang kritik saya objektif). Atau malah ini salah saya, yang terlalu bermimpi untuk ikut membesarkan “anak” mereka dengan sedikit aura yang berbeda, atau ini memang salah saya yang barangkali bagi mereka terlalu banyak omong saat di lapangan sehingga malah membuat mereka jijik. Ya entahlah, rasanya kami hanya ingin mempertahankan ego kami masing-masing.

Dan pada akhirnya pilihan ini yang saya ambil, berat memang tapi bagaimanapun saya harus memilih. Pergi disaat gesekan sedang kencang-kencangnya, bukan tidak mau duduk kemudian memusyawarahkan, tapi saya terlalu takut jikapun gesekan ini reda, akan ada gesekan-gesekan lain diwaktu yang akan datang. Terdengar naïf barangkali , tapi bukankah naïf itu justru pilihan yang seringkali kita pilih saat sadar.
Well, itulah hidup, kalo boleh saya mengulang, hidup adalah benar-benar pilihan, itulah sebabnya bagian terberat dalam hidup adalah ketika kita harus melilih.

Pada bagian ini saya hanya akan mengucapkan terima kasih dan maaf untuk kalian semua. Untuk kalian yang sudah memberikan banyak pelajaran tentang dan diluar basket. Dan kalian harus tau dan pasti kalian tau “I am still INDPNDNT fan and will be forever”.