“ketika sesuatu yang kau senangi diluaran tak lagi membuat mu senang, barangkali itu waktunya kau pulang”
Dalam hidup, setiap orang pasti
pernah merasakan bagaimana harus memilih, begitupun saya. Sepanjang 24 tahun
hidup saya, barangkali ini adalah salah satu pilihan paling berat, lebih berat
ketika saya memilih untuk meninggalkan kuliah saya yang tinggal ujungnya saja.
Yah, saya dipaksa meninggalkan
sesuatu yang benar-benar saya cintai, saya dipaksa meninggalkan kebiasaan yang
saya dambakan, saya dipaksa untuk meninggalkan sesuatu yang saya tak pernah
merasa berkorban sedikitpun didalamnya. Berat, sangat berat bahkan, tapi
begitulah hidup, bagian terberat dalam hidup itu sendiri adalah saat dimana
kita harus menentukan pilihan, barangkali begitulah kurang lebih makna dari
“hidup adalah pilhan”.
Indpndnt, ya begitulah
orang-orang menyebutnya. Sekumpulan anak muda yang memiliki kesamaan hobi
bermain bola basket, namun kami lebih suka menyebutnya brotherhood karena
memang bagi kami, indpndnt adalah “more than basketball” dan “stick
together stand as brother” adalah jargonnya. Well, ini adalah rumah
bagi saya, tempat dimana kami berbagi segalanya, tempat dimana kami membangun
mimpi, menata dan merencanakan segala perihal demi memajukan basket di daerah
kami, namun yang paling penting bagi saya, ini adalah tempat dimana saya merasa
“pulang”.
“tak ada gading yang tak retak” barangkali adalah peribahasa yang
tepat untuk situasi ini, begitu banyak gesekan dari luar yang bisa kami
bereskan, namun kami (lebih tepatnya saya) tak mampu menyelesaikan
gesekan-gesekan dari dalam diri kami sendiri. Ntah salah siapa, barangkali
salah mereka para godfather yang “terlalu” mencintai tim, yang ingin
membesarkan “anaknya” dengan cara mereka sendiri sehingga menjadikan mereka
“kebal” kritik (walaupun terkadang kritik saya objektif). Atau malah ini salah
saya, yang terlalu bermimpi untuk ikut membesarkan “anak” mereka dengan sedikit
aura yang berbeda, atau ini memang salah saya yang barangkali bagi mereka
terlalu banyak omong saat di lapangan sehingga malah membuat mereka jijik. Ya
entahlah, rasanya kami hanya ingin mempertahankan ego kami masing-masing.
Dan pada akhirnya pilihan ini yang
saya ambil, berat memang tapi bagaimanapun saya harus memilih. Pergi disaat
gesekan sedang kencang-kencangnya, bukan tidak mau duduk kemudian
memusyawarahkan, tapi saya terlalu takut jikapun gesekan ini reda, akan ada
gesekan-gesekan lain diwaktu yang akan datang. Terdengar naïf barangkali , tapi
bukankah naïf itu justru pilihan yang seringkali kita pilih saat sadar.
Well, itulah hidup, kalo boleh
saya mengulang, hidup adalah benar-benar pilihan, itulah sebabnya bagian
terberat dalam hidup adalah ketika kita harus melilih.
Pada bagian ini saya hanya akan
mengucapkan terima kasih dan maaf untuk kalian semua. Untuk kalian yang sudah
memberikan banyak pelajaran tentang dan diluar basket. Dan kalian harus tau dan
pasti kalian tau “I am still INDPNDNT
fan and will be forever”.